Open Your Eyes

Tiada Cinta Tanpa Pengorbanan

'Daripada Zaid bin Arqam, dia berkata: Suatu hari sahabat Rasulullah s.a.w. bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah yang ada pada korban itu?'' Jawab Rasulullah: "Ia adalah sunah bapa kamu, Ibrahim.'' Mereka berkata: "Apa yang akan kami peroleh daripadanya wahai Rasulullah?'' Rasulullah menjawab: "Bagi setiap helai rambut ada kebajikannya.'' Mereka berkata: "Bagaimana pula dengan bulunya wahai Rasulullah?'' Rasulullah s.a.w. menjawab: "Bagi setiap helai bulu ada kebajikannya.'' (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizi)'

Bulan Zulhijjah merupakan bulan yang tersimpan pelbagai pengajaran bagi seluruh umat Islam selain daripada bulan yang dijanjikan pelbagai nikmat dari sisiNya. Maka tidak dapat lagi kita lari dari berbicara mengenai peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang membawa kepada apa yang dijadikan sebagai ibadat korban yang ditetapkan oleh Allah swt. Allah swt telah menceritakan di dalam al-quran mengenai dua makhluk yang amat dekat di sisiNya ini yang bermaksud:

'Maka ketika anaknya itu sampai (ke peringkat umur yang membolehkan dia) berusaha bersama-sama dengannya, Nabi Ibrahim berkata: Wahai anak kesayanganku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku akan menyembelihmu; maka fikirkanlah apa pendapatmu?. Anaknya menjawab: Wahai ayah, jalankanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah, ayah akan mendapati daku dari orang-orang yang sabar.Setelah keduanya berserah bulat-bulat (menjunjung perintah Allah itu) dan Nabi Ibrahim merebahkan anaknya dengan meletakkan iringan mukanya di atas tompok tanah, (Kami sifatkan Ibrahim dengan kesungguhan azamnya itu telah menjalankan perintah Kami),' (As-Saaffat:102-103)

Maha Suci Tuhan, menciptakan dua susuk tubuh yang amat akur pada perintah seorang Pencipta. Betapa sukarnya Nabi Ibrahim untuk bertemu semula dengan anaknya yang ditinggalkan sejak dari kecil,dan setelah bertemu diminta pula untuk dikorbankan. Namun,cinta Allah lebih agung dari segalanya,disuarakan jua riwayat mimpi kepada si anak kecil yang masih belum kenal pada dunia, tetapi telah mengenal erti cinta. Cinta seorang hamba kepada Tuannya.

Dua susuk tubuh ini sama-sama IKHLAS berKORBAN demi CINTA kepada Allah swt.Betapa lemahnya langkah Nabi Ibrahim ketika itu kerana tahu nasib yang akan menimpa Nabi Ismail,anak kesayangannya. Dan Allah swt tidak pernah lekang walau sesaat menghitung rintih hiba hambaNya ini,apatah lagi untuk menzalimi hambanya yang beriman yang akhirnya DIA mengurniakan rahmatNya:

'Dan Kami tebus anaknya itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar;Dan Kami kekalkan baginya (nama yang harum) dalam kalangan orang-orang yang datang kemudian: ' (As-Saaffat:107-108)

Sahabat,ini merupakan kekasih Allah yang diuji sebegini rupa, bagaimana pula dengan diri kita? Cubaan dan dugaan yang dihadapi setiap hari kehidupan tidak ternilai berbanding mereka.Namun masih kita mudah berkeluh kesah dan lupa akan nikmat pemberianNya. Layakkah kita ke syurga berbekalkan mahar yang dibawa?

Cinta Nabi Ibrahim kepada Sang Pencipta mengorbankan si anak yang sangat dikasihinya,
Cinta Nabi Ismail menundukkan jiwa seorang bapa untuk redha pada ketentuan dariNya,
Bagaimana pula dengan cinta kita?
Mampukah kita mengorbankan segala harta dan masa
Apatah lagi jika yang menjadi taruhan adalah nyawa
Sungguh, kita umat akhir zaman yang lalai dengan dunia
Sehingga lupa kepada cinta kepada Pencipta
Masa dibazirkan dengan berhibur dan duduk bersahaja
Harta menjadi aset untuk berlumba siapa yang lagi kaya
Bila ditanya bila nak bertaubat,jawabnya bersahaja
Tunggu nanti bila meningkat tua
Sia-sia lah separuh usia amanah dari Yang Esa.

Marilah sama-sama kita bermuhasabah, telah cukupkah pengorbanan kita kepada agama ini sepertimana pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, kerana sejarah telah membuktikan, tiada cinta tanpa pengorbanan!

Petikan artikel dari: iluvislam.com

Sambutan Aidiladha

Assalamualaikum semua,

Bersemperna kedatangan Hari Raya Idul Fitri pada 28 December 2008 bersamaan dengan 10zulhijjah 1430 H, SOI berbesar hati ingin menjemput anda untuk hadir bersama-sama ke "SAMBUTAN HARI RAYA AIDILFITRI 09". Untuk tahu lebih lanjut mari kita baca butiran selanjutnya. Mari!!!!

Dimana??
Ohw tak jauh... InshaAllah sambutan akan diadakan di 75, Fairlie Terrace, Kelburn Rumah aisyah/nad).

Bila tue??
Kita akan adakan pada 27 November 2009 (malam 10 zulhijjah), hari Jumaat kira-kira 2 hari lagi.

Ada apa nanti?
Haaa macam-macam ada... Nak tahu?? Mahu!!! InshaAllah pada hari itu, kita akan bertakbir dan solat bersama-sama, ada tayangan video, jamuan raya, tazkirah dan qiam (optional)Wah!!! Best!! InshaAllah boleh mula datang pukul 7pm...

Mari kawan-kawan kita datang!! Moga-moga Allah memberi kelapangan dan menyatukan hati-hati kita untuk sama-sama menghayati dan mengambil pengajaran daripada kisah disebalik hari raya qurban, memuhasabah serta memahami makna pengorbanan serta kepentingannya dalam konteks kehidupan kita sebagai hamba Allah dan pelajar muslim yang sedang belajar.

Dua sahabat

Dua sahabat berjalan-jalan menyusuri tepian pantai.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba salah seorang sahabat menampar sahabatnya. Sang sahabat yang ditampar sedih hatinya. Karena kesedihannya, dia menuliskan kejadian itu di pasir pantai.

“Pada hari ini, saya telah ditampar oleh sahabat saya”

Lalu sahabat tadi tetap meneruskan perjalanan dengan sahabatnya. Tiba-tiba di tengah jalan, dia tersandung dan terlanggar batu karang. Kakinya terluka dan berdarah. Tiba-tiba, sahabat yang menamparnya tadi dengan cepat membantunya dan segera mengubati lukanya. Sang sahabat yang terjatuh tadi menuliskan kejadian itu di batu karang.

“Pada hari ini sahabat saya menolong dan membantu saya”

Si sahabat yang bingung melihat sahabatnya selalu menuliskan peristiwa-peristiwa yang dialami mereka bertanya,

“Ya, sahabat, mengapa engkau lakukan semua ini?”

Lalu si sahabat tadi menjawab,

“Aku menuliskan peristiwa tamparan engkau di pasir pantai, agar ketika gelombang air laut datang, tulisan itu akan tersapu olehnya. Lalu aku menulis tentang pertolonganmu di batu karang, agar tulisan itu akan tetap ada untuk selamanya.”

Abu Ayyub Al Ansari

Scanned from: "Companions of The Prophet", Vol. 1, By: Abdul Wahid Hamid.


Khalid ibn Zayd ibn Kulayb from the Banu Najjar was a great and close companion of the Prophet. He was known as Abu Ayyub (the father of Ayyub) and enjoyed a privilege which many of the Ansar in Madinah hoped they would have. When the Prophet, peace and blessings of God be on him, reached Madinah after his hijrah from Makkah, he was greeted with great enthusiasm by the Ansar of Madinah. Their hearts went out to him and their eyes followed him with devotion and love. They want ed to give him the most generous reception anyone could be given. The Prophet first stopped at Quba on the outskirts of Madinah and stayed there for some days. The first thing he did was to build a mosque which is described in the Qur'an as the


"mosque built on the foundation of piety (taqwa)". (Surah At-Tawbah 9: 108).


The Prophet entered Madinah on his camel. The chieftains of the city stood along his path, each one wishing to have the honour of the Prophet alighting and staying at his house. One after the other stood in the camel's way entreating,



"Stay with us, O Ra sulullah." "Leave the camel," the Prophet would say. "It is under command."



The camel continued walking, closely followed by the eyes and hearts of the people of Yathrib. When it went past a house, its owner would feel sad and dejected and hope would rise in the hearts of others still on the route. The camel continued in this fashion with the people following it until it hesitated at an open space in front of the house of Abu Ayyub al-Ansari. But the Prophet, upon whom be peace, did not get down. After only a short while, the camel set off again, t he Prophet leaving its reins loose. Before long, however, it turned round, retraced its steps and stopped on the same spot as before.




-Quba' mosque-

Abu Ayyub's heart was filled with happiness. He went out to the Prophet and greeted him with great enthusiasm. He took the Prophet's baggage in his arms and felt as if he was carrying the most precious treasure in the world. Abu Ayyub's house had two storeys. He emptied the upper floor of his and his family's possessions so that the Prophet could stay there. But the Prophet, peace be on him, preferred to stay on the lower floor. Night came and the Prophet retired. Abu Ayyub went up to the upper floor. But when they had closed the door, Abu Ayyub turned to his wife and said:

"Woe to us! What have we done? The messenger of God is below and we are higher than he! Can we walk on top of the messenger of God? Do we come between him and the Revelation (Waky)? If so, we are doomed."

The couple became very worried not knowing what to do. They only got some peace of mind when they moved to the side of the building which did not fall directly above the Prophet. They were careful also only to walk on the outer parts of the floor and avo id the middle. In the morning, Abu Ayyub said to the Prophet:

"By God, we did not sleep a wink last night, neither myself nor Umm Ayyub." "Why not, Abu Ayyub?"

asked the Prophet. Abu Ayyub explained how terrible they felt being above while the Prophet was below them and how they might have interrupted the Revelation.

"Don't worry, Abu Ayyub," said the Prophet. "We prefer the lower floor because of the many people coming to visit us." "We submitted to the Prophet's wishes,"

Abu Ayyub related, "until one cold night a jar of ours broke and the water spilled on the upper floor. Umm Ayyub and I stared at the water. We only had one piece of velvet which we used as a blanket. We used it to mop up the water out of fear that it would seep through to the Prophet. In the morning I went to him and said,

'I do not like to be above you,' and told him what had happened. He accepted my wish and we changed floors."

The Prophet stayed in Abu Ayyub's house for almost seven months until his mosque was completed on the open space where his camel had stopped. He moved to the rooms which were built around the mosque for himself and his family. He thus became a neighbour of Abu Ayyub. What a noble neighbour to have had! Abu Ayyub continued to love the Prophet with all his heart and the Prophet also loved him dearly. There was no formality between them. The Prophet continued to regard Abu Ayyub's house as his own. The following anecdote tells a great deal about the relationship between them. Abu Bakr, may God be pleased with him, once left his house in the burning heat of the midday sun and went to the mosque. Umar saw him and asked,

"Abu Bakr, what has brought you out at this hour?

Abu Bakr said he had left his house because he was terribly hungry and Umar said that he had left his house for the same reason. The Prophet came up to them and asked,

"What has brought the two of you out at this hour?" They told him and he said, "By Him in Whose hands is my soul, only hunger has caused me to com e out also. But come with me."

They went to the house of Abu Ayyub al-Ansari. His wife opened the door and said,

"Welcome to the Prophet and whoever is with him." "Where is Abu Ayyub?"

asked the Prophet. Abu Ayyub, who was working in a nearby palm grove, heard the Prophet's voice and came hurriedly. "Welcome to the Prophet and whoever is with him," he said and went on, "O Prophet of God, this is not the time that you usually come." (Abu Ayyub used to keep some food for the Prophet every day. When the Prophet did not come for it by a certain time, Abu Ayyub would give it to his family.) "You are right," the Prophet agreed. Abu Ayyub went out and cut a cluster of dates in which there were ripe and half-ripe dates.

"I did not want you to cut this," said the Prophet. "Could you not have brought only the ripe dates?" "O Rasulullah, please eat from both the ripe dates (rutb) and the half ripe (busr). I shall slaughter an animal for you also." "If you are going to, then do not kill one that gives milk," cautioned the Prophet.

Abu Ayyub killed a young goat, cooked half and grilled the other half. He also asked his wife to bake, because she baked better, he said. When the food was ready, it was placed before the Prophet and his two companions. The Prophet took a piece of meat and placed it in a loaf and said,

"Abu Ayyub, take this to Fatimah. She has not tasted the like of this for days." When they had eaten and were satisfied, the Prophet said reflectively: "Bread and meat and busr and rutb!" Tears began to flow from his eyes as he continued:

"This is a bountiful blessing about which you will be asked on the Day of Judgment. If such comes your way, put your hands to it and say, 'Bismillah' (In the name of God) and when you have finished say, 'Al hamdu lillah alladhee huwa ashba'na wa an'ama a layna (Praise be to God Who has given us enough and Who has bestowed his bounty on us). This is best."

These are glimpses of Abu Ayyub's life during peace time. He also had a distinguished military career. Much of his time was spent as a warrior until it was said of him,

"He did not stay away from any battle the Muslims fought from the time of the Prophet to the time of Mu'awiyah unless he;: was engaged at the same time in another." The last campaign he took part in was the one prepared by Mu'awiyah and led by his son Yazid against Constantinople.

Abu Ayyub at that time was a very old man, almost eighty years old. But that did not prevent him from joining the army and crossing the seas as a graze in the path of God. After only a short time engaged in the battle, Abu Ayyub fell ill and had to withdraw from fighting. Yazid came to him and asked:

"Do you need anything, Abu Ayyub?" "Convey my salaams to the Muslim armies and say to them: 'Abu Ayyub urges you to penetrate deeply into the territory of the enemy as far as you can go, that you should carry him with you and that you should bury him under your feet at the walls of Constantinople."'

Then he breathed his last. The Muslim army fulfilled the desire of the companion of the Messenger of God. They pushed back the enemy's forces in attack after attack until they reached the walls of Constantinople. There they buried him. (The Muslims beseiged the city for four years but eventually had to withdraw after suffering heavy losses.)

Ikhtilat

Pergaulan antara lelaki dan wanita “ikhtilat”: Apa sempadannya?


Realiti hari ini menyaksikan manusia lelaki dan wanita telah bolos daripada pegangan agamanya sebagaimana bolosnya anak panah dari busarnya. Sifat, sikap, adab dan disiplin pergaulan jauh sekali daripada ajaran Islam.


Dalam fenomena seperti ini perkataan ikhtilat “pergaulan antara lelaki dan wanita ajnabi” tentu sekali menjadi persoalan yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan keutuhan agama. Oleh kerana itu ulama-ulama Islam satu masa dahulu secara tegas menghukumkan masalah ikhtilat di sekolah, di pasar dan di mana-mana tempat adalah haram. Wanita lslam pula dididik agar mengutamakan rumah daripada pekerjaan. Oleh kerana itu isu wanita bekerja dan apatah lagi berpolitik adalah satu isu yang ditegah pada satu masa dahulu. Sejajar dengan Firman Allah yang bermaksud: “Dan tetaplah kamu di rumah-rumah kamu.”


Apakah ikhtilat itu haram?


Fiqh semasa pada kali ini akan menghuraikan hukum pergaulan antara lelaki dan perempuan dalam berbagai sempena dari segi dalil, skop perbincangan dan batas-batas pergaulan. Contohnya wanita di tempat kerja, di pasar, di pentas dan bergelut di bidang politik. Adakah ia harus melakukan kerja-kerja yang seperti itu padahal dia terpaksa bergaul, bercakap dan bersemuka dengan bukan muhram dan bukan kaum sejenis mereka. Fenomena seperti ini diistilahkan oleh ulama kini sebagai: “ikhtilat”.
Oleh itu untuk menghurai persoalan ini kita perlu terlebih dahulu menghurai perkataan ikthilat dari segi bahasa dan syariat.

Dari segi bahasa, ikhtilat bererti:

meramukan, menggaul sesuatu dengan sesuatu yang lain yakni mencampurkannya.
Istilah syariat yang dimaksudkan dalam perbahasan ini ialah:
Percampuran wanita dengan lelaki iaitu perkumpulan mereka pada satu tempat, sama ada dalam bentuk kumpulan atau bersendirian.
Percampuran di satu tempat selalunya menyebabkan mereka bertemu antara satu sama lain, berpandangan dan bertegur sapa.


Apa hukum ikhtilat dalam konteks yang seperti? Ikhtilat seperti yang dijelaskan pada asalnya adakah haram atau halal?

Untuk mengetahui jawapan, kita utarakan pertanyaan berikut:
Adakah wanita sepenuhnya seperti lelaki dalam bercampur dengan lelaki ajnabi? Yakni adakah percampuran mereka dengan lelaki sama dengan percampuran lelaki dengan lelaki, tanpa ada perbezaan?

Jawapannya ialah; Tidak, secara pastinya tidak. Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahawa pergaulan wanita dengan lelaki sama dengan pergaulan lelaki dengan lelaki. Kerana asasnya pergaulan lelaki sesama lelaki adalah harus, tetapi pergaulan lelaki dengan wanita tidak begitu. Maka kalau itu asasnya, pergaulan lelaki dan wanita adalah haram, bukan harus.

Setelah kita mengetahui asal hukum pergaulan antara leiaki dan perempuan adalah haram, maka la adalah suatu perkara yang wajib dihindarkan kecuali dalam keadaan terpaksa atau keperluan yang mendesak. Syeikh Abd. Karim Zaidan dalam kitabnya `al-mufassat fi al-mar ah’ yang masyhur menyebutkan contoh-contoh keadaan tersebut seperti di bawah:

Pertama: Harus kerana terpaksa (dhorurah)

Ikhtilat yang berlaku kerana tekpaksa seperti yang disebutkan oleh Imam Nawawi dengan katanya: Berkata ahli mazhab Syafei: Tidak ada perbezaan dalam pengharaman khulwah (berdua-duaan) sama ada dalam solat atau selainnya. Dikecualikan daripada hokum ini kedaaan-keadaan dhorurat, seperti jika seseorang lelaki ajnabi mendapati seorang wanita ajnabi bersendirian di jalan, jauh daripada kumpulan manusia tersebut jika dibimbangi keselamatannya, maka pada ketika itu wajib tanpa khilaf.

Antara contoh dhorurah yang lain ialah seperti seorang lelaki ajnabi melarikan wanita dengan tujuan menyelamatkannya daripada diperkosa, jika itu adalah satu-satu jalan untuk menyelamatkan wanita tersebut.

Kedua: Harus kerana keperluan (hajat)

Ulama berkata, hajat mengambil peranan dhorurah dalam mengharuskan perkara yang haram. Di sana dicatatkan beberapa keperluan yang dianggap mengharuskan ikhtilat antara lelaki dan perempuan.

Ikhtilat kerana urusan jual beli yang dibenarkan oleh syarak. Harus bagi wanita bercampur dengan lelaki semasa berjual-beli, melakukan tawar-menawar, memilih barang dengan syarat tidak berlaku khulwat (berdua-duaan) dan memelihara adab-adab pergaulan.

Ikhtilat kerana melakukan kerja kehakiman. Wanita harus menjadi hakim dalam perkara selain hudud di sisi Hanafiah dan dalam semua perkara di sisi az-Dzohiriah dan Imam at-Tobari. Sudah termaklum kerja sperti ini mengundang percampuran dengan kaum lelaki yang terdiri daripada pendakwa, tertuduh, saksi dan lain-lain.

Ikhtilat kerana menjadi saksi. Islam mengharuskan wanita menjadi saksi dalam kes berkaitan dengan harta dan hak-haknya. Seperti dinyatakan dalam ayat akhir surah al-Baqarah. Menjadi saksi akan mendedahkan diri kepada percampuran dengan lelaki ajnabi.

Ikhtilat kerana amar ma’ruf nahi munkar. Ibnu Hazmin telah menyebutkan dalam kitabnya `al-Muhalla’ bahawa Umar al-Khattab r.a. telah melantik al-Syifa’ menjadi penguatkuasa perbandaran. Sudah tentu beliau akan bercampur dengan lelaki ketika menjalankan tugasnya.

Ikhtilat kerana melayan tetamu. Harus bagi wanita melayan tetamu bersama suaminya dan jika ada alasaan yang syar’ie seperti tujuan memuliakan tetamu dan sebagainya walaupun terpaksa bercampur dengan tetamu. Dalam hadis Bukhari, ada diriwayatkan bahawa Ummu Usaid melayani Rasulullah s.a.w. dengan menghidangkan makanan dan menuangkan minuman untuk baginda.

Ikhtilat kerana memuliakan tetamu dan jika perlu makan bersamanya. Harus bagi wanita makan bersama tetamu kerana tujuan memuliakan tetamu atau tujuan lain yang syar’ie Muslim meriwayatkan kisah satu keluarga yang ingin memuliakan Rasulullah s.a.w dan bertamukan baginda. Oleh kerana makanan yang sedikit, mereka memadamkan api dan memperlihatkan bahawa mereka makan bersama-sama banginda. Ini bereri bahawa orang ansor dan isterinya itu duduk bersama tetamu untuk makan bersama, walaupun mereka tidak makan, kerana mengutamakan tetamu.

Ikhtilat dalam kenderaan awam. Harus bagi wanita keluar rumah kerana menunaikan kerja-kerjanya yang diharuskan, walaupun terpaksa bercampur dengan lelaki ajnabi, seperti keluar untuk menziarahi dua ibu-bapanya, membeli-belah dan ke hospital, meski pun ia terpaksa menaiki kenderaan awam yang menyebabkan berlaku percampuran dengan penumpang lain dari kalangan lelaki ajnabi, dia mungkin duduk atau berdiri ditepinya. Percampuran ini diharuskan oleh keperluan yang syar’ie.

Ikhtilat kerana kerja-kerja jihad. Antara contoh pergaulan sewaktu jihad ialah seperti membawa air, merawat pesakit dan seumpamanya. Semua perkara tersebut adalah harus dilakukan oleh wanita kerana maslahah syariah. Bukhari menyebut dalam sahihnya daripada Ar Rabei binti Muawwiz katanya: Kami bersama Nabi s.a.w. merawat pesakit, memberi minum dan menghantar jenazah yang terbunuh ke Madinah.

Ikhtilat untuk tujuan belajar atau mendengar nasihat. Antara suasana yang diharuskan , ikhtilat dengan tujuan mengajar agama kerana Bukhari meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. keluar pada satu hari raya dan sembahyang dua rakaat. Setelah selesai solat baginda berpusing mengarah wanita. Baginda menasihati mereka dan menyuruh mereka bersedekah, bersama baginda ialah Bilal.

Ikhtilat dalam suasana yang telah menjadi adat kebiasaan. Tersebut dalarn kitab Muwatta persoalan: Adakah harus bagi wanita makan bersama hamba atau lelaki bukan muhramnya? Berkata Malik: Tidak ada halangan pada perbuatan tersebut, jika dalam ruang uruf bahawa wanita makan bersama lelaki tersebut. Kadang-kadang wanita makan bersama suami dan mereka yang sering makan bersama suaminya. Antara contoh yang berlaku pada zaman ini ialah percampuran sewaktu menziarahi sanak saudara atau rakan taulan.Dalam suasana yang seperti ini akan berlaku percampuran antara lelaki dan perempuan dalam satu bilik, makan pada satu meja dan sebaginya. Ini semua diharuskan selama terpelihara adab-adab Islamiah.

Adab-adab dalam bergaulan antara lelaki dan wanita

Walaupun pergaulan dibenarkan oleh syariat dalam suasana terpaksa dan keperluan, namun Islam telah meletakkan adab-adab dan disiplin dalam pergaulan lelaki dan wanita. Perkara-perkara inilah yang akan mengekang sikap-sikap serong dalam pergaulan antara wanita ajnabi dan lelaki. Kita perlu mengukur adakah pergaulan kita sekarang ini, sama ada di tempat kerja, dalam kenderaan awam, ketika membeli belah, bersiar-siar, berpolitik, amal-amal sosial, aktiviti-aktiviti luar dan lain-lain bertepatan dengan ajaran dan prinsip agama kita Islam. Sikap yang tidak mengikut lunas-lunas Islam lambat laun akan mengundang akan kecelakaan.

Adab yang perlu dijaga oleh lelaki dan perempuan.

Ucapan yang makruf dan sopan. Firman Allah: Dan ucaplah kata-kata yang makruf. Maksudnya, mereka ditegah sama sekali mengucapkan kata-kata yang janggal pada pandangan susila atau berbentuk sendaan dan sia-sia.

Menundukkan pandangan. Dalam surah an Nur menyuruh lelaki dan wanita menundukkan pandangan masing-rnasing khususnya dalarn suasana takutkan fitnah.

Mengelakkan daripada berhimpit dan bersesak-sesak. Imam Bukhari meriwayatkan daripada Ummu Salamah bahawa Rasulullah (s.a.w.) setelah memberi salam beliau tidak terus bangun. Ini untuk memberi peluang kepada wanita keluar dahulu. Imam Bukhari meriwayatkan daripada Ibnu Abbas bahawa Rasulullah (s.a.w. ) bersabda: Janganlah sekali-kali seseorang lelaki bersendirian dengan seorang wanita kecuali jika ia mahramnya.

Menghindari tempat shubhat. Sabda Rasulullah SAW: Tinggalkanlah perkara yang meragukan kamu…. (Riwayat Bukhari).

Adab khas untuk wanita

Iltizam dengan pakaian Islam. Firman Allah: Wahai Nabi katakanlah kepada isteri dan anak-anak perempuan kamu supaya melabuhkan jilbab mereka. Dan firmannya lagi: Janganlah kamu bertabarruj (bersolek) sebagaimana kaum jahiliah bertabrruj.

Serius dalam ucapan. Tidak `mengada-ngada` atau bermanja-manja dalam percakapan. Firman Allah: Dan janganlah kamu merendahkan (melunak dan memanja-manjakan) percakapan, yang menyebabkan mereka yang sakit hatinya terdetik untuk menggodamu.

Menjaga pergerakan. Tidak harus mereka memperlihatkan liuk lituk dan lenggan lenggok yang menggoda. Firman Allah: Janganlah mereka menghentak kaki untuk menarik perhatian kepada perhiasan yang mereka sembunyikan. Daripada pembentangan di atas ternyata bahawa rnenjadi peragawati, penyanyi dan penari adalah haram kerana tidak menepati syarat-syarat yang telah di tetapkan oteh ulama lslam.

Wallahua’lam.

Dipetik dari Laman Blog KRIM Shah Alam Klang

Semusim...Permainan dan Perjuangan

Bulldozer rejim Zionis roboh rumah penduduk Jerusalem

Rabu , 04/11/2009 – Bulldozer rejim Zionis Isnin lalu telah meranapkan sebuah rumah penduduk Palestin Jerusalam di kawasan Silwan yang terletak selatan dari Masjid Al-Aqsa di Jerusalam.Sumber tempatan menyatakan majlis bandaran IOA tersebut merobohkan rumah tersebut atas dasar dibina tanpa permit. Majlis bandaran yang dikuasai pihak Yahudi enggan mengeluarkan permit pembinaan kepada rakyat palestin walaupun di bandar mereka sendiri, tetapi mengalukan pendatang Yahudi untuk menetap sesuka hati.Menurut sumber, pasukan dari majlis bandaran tersebut diiringi oleh sejumlah besar pihak tentera dan polis yang turut menutup seluruh kawasan tersebut bagi melindungi kerja-kerja pemusnahan.

sumber : http://www.palestine-info.co.uk/en/

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Semusim...Permainan dan Perjuangan

Teringat zaman kecil-kecil dahulu…

Bila tiba musim main guli, semua ramai-ramai pakat main guli. Aku akan pulun* mengajak ayah pergi ke kedai untuk membeli guli untuk dipertaruhkan di medan bulat atas tanah. Sasaran kutuju, guli-guli kuperolehi. Setelah beberapa bulan, musim guli pun tamat. Guli-guli yang beraneka warna itu aku letak bersepah-sepah. Akhirnya emak juga yang menyimpannya untuk aku kerana dia tahu, pada tahun depan musim guli akan tiba lagi dan aku akan kembali mencari guli-guliku untuk dipertaruhkan.

Masih teringat zaman kecil-kecil dahulu...

Bila tiba musim layang-layang, semua pakat main layang-layang. Aku akan pulun mengajak ayah pergi membeli layang-layang Doraemon kesukaanku yang berharga 50 sen. Bila pulang, benang aku simpul sebagai layar, tali aku lempar sebagai pelayang. Layang-layang terbang tinggi, aku pun gembira sakan. Bila layang-layang tersangkut di pokok, selipar aku lempar tinggi ke sasaran namun hampa. Layang-layang seakan enggan kembali menjejak tanah. Mujur selipar tidak tersangkut. Hampa... aku pulang ke rumah, menyuruh abang membuat layang-layang daripada surat khabar. Setelah siap, aku terbangkannya ke langit dan kembali gembira bermain layang-layang. Setelah beberapa bulan, musin daun-daun getah dan angin pun tamat menandakan musim layang-layang pun juga tamat. Benang aku lempar jauh, layang-layang aku biar tersangkut di atas pokok. Akhirnya emak juga yang menyimpan semuanya untuk aku kerana dia tahu, pada tahun depan musim itu akan berkunjung lagi dan aku pasti tercari-cari sang benang dan layang-layang.

Masih segar ingatanku beberapa bulan yang lalu…


Saat Palestin dibedil Israel, demonstrasi memenuhi jalanan, amarah memuncak ke langit, doa’ berutus tidak putus-putus ke Sidratul Muntaha, tabung bergolek-golek mencari derma. Aku suka. Aku gembira melihat suasana kaum muslimin. Aku lancarkan program mencari derma, aku layarkan kertas-kertas bernota sengsara, aku membidas musuh-musuh bertulang dusta. Aku bersyukur, aku redha, aku gembira.

Masih segar ingatanku lewat tengah hari yang baru sahaja berlalu...

Tiada lagi yang semangat bercerita tentang palestin. tiada lagi berita-berita terkini yang dulu selalu diperkatakan. Cubaan membeli barangan beruntungkan zionis mula berleluasa. Boikot hanya tinggal kenangan. Musim Palestin makin menghampiri waktu surutnya. Namun, aku bukan lagi kanak-kanak hidup bersulam gembira. Aku dewasa beramanahkan Islam yang mulia. Islam dan Palestin bukan bermusim jihadnya tetapi perlu disemat dalam jiwa supaya sentiasa hidup akan semangat perjuangannya. Emak tiada di sini, tiada di sisi untuk mengutip sisa-sisa semangatku tetapi aku sendiri harus menyusuri jalan-NYA. Aku tidak boleh lagi mengikut musim seperti musim kanak-kanakku bermain guli, bermain layang-layang, terjun sungai dan main masak-masak.

Perjuangan ISLAM tiada surut musimnya seperti permainan kanak-kanak dahulu. Ia sentiasa membara, sentiasa bergelora.